Selasa, 25 Maret 2014

"Kembalikan IndonesiaKu ke Indonesia"

Mari kita kobarkan kembali rasa cinta tanah air, rela berkorban, rasa senasib sepenanggungan, semangat persatuan dan kesatuan, dan menjadikan kemajemukan kita sebagai kekuatan.

Bangsa Indonesia akan memperingati hari kemerdekaannya yang ke-67. Dalam kesempatan bersejarah ini, perlu bagi kita untuk merenung dan  menilai secara jujur sudah sampai manakah pencapaian kita dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara?
          Pertanyaan lainnya adalah, apakah Negara Kesatuan Republik Indonesia ini sudah mampu melaksanakan tujuan pembentukan negara seperti yang dicita-citakan oleh para pendiri bangsa kita? Apakah segenap rakyat Indonesia sudah merasakan manfaat dari penyerahan kebebasan mereka untuk diatur negara ini dan merasakan keadaan yang gemah ripah loh jinawi, toto tentrem karta raharja?
          Pasti ada sisi terang, walaupun tidak kurang sisi kelam yang membayangi perjalanan hidup Indonesia. Sebagai negara dengan penduduk beragama Islam terbesar di dunia yang demokratis, Indonesia sudah menjadi anggota G-20. Pendapatan Domestik Bruto (PDB) Indonesia sudah hampir mencapai satu triliun dolar AS. Rasio utang Indonesia terhadap PDB sebesar 25 persen, cadangan devisa 114, 502 miliar dolar AS dan defisit publik kurang dari 2 persen terhadap PDB menunjukkan kekuatan dan stabilitas ekonomi Indonesia pada 2011.
          Selama tujuh tahun terakhir, angka kemiskinan di Indonesia terus menurun dari 36,1 juta orang atau 16,66 persen dari total penduduk pada Februari 2004 menjadi 29,9 juta orang atau 12,36 persen dari total penduduk pada September 2011. Pertumbuhan ekonomi Indonesia beberapa tahun terakhir selalu berkisar di atas 6 persen. Kondisi ekonomi makro yang stabil dan sehat, tetapi apakah segala keberhasilan yang dicapai benar-benar sudah memberikan manfaat bagi seluruh masyarakat? 
          Nyatanya, kita masih merasakan bayang-bayang gelap yang menghantui. Rasanya kita belum benar-benar eksis sebagai sebuah negara yang berdaulat. Masih banyak persoalan kebangsaan yang harus kita tangani secara komprehensif dengan semangat kebersamaan bila kita tidak ingin menjadi negara gagal seperti hasil penelitian organisasi nirlaba Foreign Policy and Fund for Peace. Indonesia berada di nomor urut 63, lebih buruk dari 2011 yang berada di urutan 64. Daripada berdebat tentang apakah Indonesia memang negara gagal, mari kita jadikan Failed States Index (FSI) tersebut sebagai pemicu untuk mengoreksi kekeliruan.

Demokrasi Bukan Tujuan

          Rasanya, kekeliruan kita yang utama adalah menempatkan demokrasi sebagai tujuan, padahal itu hanya cara untuk mengejar cita-cita nasional. Akibatnya, politik kita jadikan panglima. Masih pula perlu kita pertanyakan kesesuaian sistem kenegaraan kita saat ini dengan falsafah Pancasila. Rasanya Pancasila sudah kita lupakan dan buang jauh-jauh dari kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
          Bagaimana tidak, setelah empat kali perubahan Undang-Undang Dasar 1945, kita justru menafikan golongan minoritas. Bila dahulu MPR masih menampung aspirasi kelompok minoritas dalam bentuk utusan golongan, sekarang hanya ada perwakilan rakyat yang dipilih mewakili partai dan mewakili daerah. Dikhawatirkan terjadi tirani mayoritas, hilangnya hak kaum minoritas.
          Dalam aspek ekonomi, kita pertanyakan kedaulatan kita sebagai bangsa. Kita sudah melenceng dari amanat  BAB XIV Pasal 33 UUD 1945 yang mengatur bahwa: perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan; cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara; bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Kenyataannya justru banyak aset ekonomi dan strategik kita yang dikuasai asing semisal telekomunikasi, perbankan, pertambangan dan energi. Dalam hal pangan pun kita belum mampu berswasembada apalagi berdaulat.
          Tengoklah di sektor perbankan, misalnya, penguasaan aset perbankan nasional oleh bank milik negara dan swasta nasional kian menyusut, digantikan penguasaan aset oleh bank milik asing yang meningkat tajam dan mendominasi. Kepemilikan asing di bank-bank tumbuh menjadi 21 persen di 2011. Aset bank swasta nasional yang dimiliki lokal terus merosot dari 42 persen di 1998 ke-22 persen pada 2011, sedangkan aset bank BUMN terus tergerus dari 44 persen pada 1998 menjadi 35 persen di 2011. Apabila ditotal dengan kantor cabang bank asing dan bank campuran, maka total pangsa pasar bank milik asing di Indonesia sudah mencapai 34 persen (Koran Jakarta, 26 Juli 2012).
          Mari kita menyimak ayat 4 Pasal 33 UUD 1945 yang berbunyi “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”. Tapi apa kenyataannya?
          Kita justru melihat tingkat kesenjangan yang semakin tinggi. Data Rasio Gini yang merupakan ukuran ketimpangan pendapatan Indonesia mencapai 0,41 pada 2011, memburuk dari 0,38 pada 2010. Konglomerasi semakin merajalela, ketimpangan antardaerah, antarwilayah, dan antargolongan cenderung meningkat.
          Sesungguhnya, tak satu pun amanat konstitusi kita yang mewajibkan untuk menciptakan pertumbuhan yang setinggi-tingginya, tetapi mengutamakan pemerataan dan keadilan. Bukankah perintah “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa” harus diartikan sebagai kebersamaan, bukan untuk segolongan masyarakat?

Wajib Tegakkan Keadilan

Dalam aspek politik kita melihat demokrasi dengan sistem pemilihan yang bebas dinodai oleh politik transaksional. Kondisi ini mengakibatkan pemimpin yang terpilih belum tentu adalah putra terbaik bangsa, sehingga kepercayaan masyarakat terhadap pemimpin saat ini banyak diragukan. Mereka melihat betapa banyak pejabat publik menjadi tersangka, terdakwa, bahkan terhukum dalam kasus korupsi dan penyuapan. Harus ada rekonstruksi politik yang lebih baik untuk lebih menjamin proses pemilihan yang melahirkan pemimpin yang terbaik.
          Dalam suratnya kepada Bishop Mandell Creighton, 1887, Lord Acton menuliskan “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely”. Dengan demikian, kuncinya adalah transparansi, akuntabilitas, dan penegakan hukum yang kuat. Namun apa lacur, penegak hukum belum memenuhi harapan. Ingat kasus rekening gendut para petinggi Polri dan transfer uang yang mencurigakan seperti dilaporkan PPATK? Kasus-kasus besar seperti Bank Century dan Hambalang dikhawatirkan lenyap begitu saja.
          Kita juga perlu mempertimbangkan untuk meredefinisi ulang politik luar negeri kita agar lebih efektif dalam memperjuangkan dan menjaga kepentingan nasional. Bukankah seharusnya kebijakan politik luar negeri semata-mata ditujukan untuk pencapaian kepentingan bangsa? Kalau demikian, mengapa pilar utama politik luar negeri kita lebih didasarkan pada kepentingan regional dan internasional, bukan kepentingan nasional?
          Selama 40 tahun terakhir, ASEAN selalu menjadi sokoguru politik luar negeri Indonesia, terutama karena Indonesia adalah salah satu pendiri dan pemrakarsa ASEAN. Karena itu, ASEAN seharusnya merupakan instrumen politik luar negeri Indonesia karena dianggap mampu menyelesaikan permasalahan regional, bahkan internasional.
          Kenyataannya, forum-forum ASEAN tidak mampu menyelesaikan masalah antarnegara anggota, bahkan kecenderungannya adalah Indonesia banyak mengalahkan prinsip dan kepentingan nasionalnya sendiri demi keutuhan ASEAN. Ketegangan di Laut China Selatan yang kembali memanas akhir-akhir ini merupakan salah satu bukti nyata bahwa ASEAN memang tidak berdaya.

Kembalikan Indonesiaku

Dalam aspek persatuan, kita masih melihat adanya gangguan separatisme di daerah. Ada pula kesenjangan antardaerah, antargolongan, serta antara pusat dan daerah. Bentrokan antargolongan masih terjadi, terutama dengan adanya kelompok-kelompok anarkis yang melakukan tindakan kekerasan dan teror terhadap masyarakat. Belum lagi peperangan antargeng dan antargolongan yang kembali merebak.
          Gangguan terhadap kedaulatan wilayah kita masih terasa. Banyak intrusi yang dilakukan negara asing terhadap wilayah perairan dan perbatasan. Berkurangnya luas wilayah nasional akibat berpindahnya tapal batas wilayah kita di Kalimantan serta pelanggaran udara dan laut RI oleh pesawat udara dan kapal perang terutama kapal selam asing yang bahkan tidak pernah kita ketahui adanya, adalah contoh kurangnya kemampuan dan kekuatan laut dan udara kita dalam mengendalikan dan menjaga kedaulatan RI.
          Lebih dari itu, bangsa Indonesia saat ini tercabut dari akarnya. Wawasan kebangsaan yang bersumber dari landasan Pancasila tidak lagi menjadi falsafah kehidupan. Bahkan, kita sudah tidak lagi paham landasan kebangsaan kita, yaitu kekeluargaan, musyawarah, dan mufakat karena batang tubuh konstitusi kita sudah disimpangkan dari Pembukaan UUD 45 yang merupakan sumber dari segala sumber hukum.
          Kontemplasi dan perenungan ini sesungguhnya bukanlah untuk menyanggah segala keberhasilan, tetapi lebih sebagai upaya untuk menyadarkan kita semua bahwa masih sangat banyak kekurangan yang perlu kita perbaiki.
          Pasti bukan kebetulan 17 Agustus 2012 yang akan kita rayakan beberapa hari lagi bertepatan jatuh pada hari Jumat bulan Ramadan 1433 H, persis sama dengan 17 Agustus 1945 yang juga jatuh pada hari Jumat bulan Ramadan 1364 H. Ini menjadi peringatan kepada kita semua untuk kembali berjuang, mengembalikan keindonesiaan kita dengan memperbaiki pola pikir, pola sikap, dan pola tindak. Indonesia harus kita kembalikan kepada haluannya yang benar, sesuai cita-cita pembentukannya, yaitu mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur.
          Mari kita kobarkan kembali rasa cinta tanah air, rela berkorban, rasa senasib sepenanggungan, semangat persatuan dan kesatuan, dan menjadikan kemajemukan kita sebagai kekuatan. Bhinneka Tunggal Ika dan Merah Putih harus kembali kita junjung tinggi dan kita kibarkan. Dengan kata lain, mari kita kembalikan Indonesia. Dirgahayu Republik Indonesia ke-67, hiduplah Indonesia raya.


(PERISKOP/SHNEWS.CO/P.011)
Sumber : http://www.shnews.co/kolom/periskop/detile-42-kembalikan-indonesiaku.html



Pulau Sipadan dan Ligitan bukan Pulau milik Indonesia yang direbut Malaysia

Mengutip dari buku BATAS MARITIM ANTAR NEGARA oleh I Made Andi Arsana
(sumber lain: keputusan International Court of Justice,ICJ, dapat dibaca di http://www.icj-cij.org/docket/files/102/7714.pdf)
Tidak benar jika dikatakan bahwa aktivitas industri pariwisata yang dilakukan oleh malaysia di kedua pulau tersebut akhrirnya menyebabkan kemenangan Malaysia di Makamah Internasional. Keputusan klaim atas dua pulau itu berdasarkan asas efectivitees, atau asas penguasaan efektif dan ditinjau dari aspek historis.
Sejarah kepemilikan dari Pulau Sipadan dan Ligitan sebelum di klaim milik Indonesia atau Malaysia berkaitan dengan Pengusaan Pulau Borneo dimana bagian selatan Pulau Borneo adalah milik Belanda dan Inggris di bagian utara. Antara kedua negara penguasa ini, telah menyepakati pembagian wilayah darat Pulau Borneo pada tahun 1891, tetapi belum pernah disepakati kepemilikan Pulau Sipadan dan Ligitan yang berada di sebelah timur Pulau Borneo. Batas darat yang ditetapkan oleh kedua penguasa inipun berakhir di ujung timur Pulau Sebaltik, sebuah pulau kecil di sebelah timur Pulau Borneo. Akibatnya, kekuasaan atas laut dan pulau kecil di sebelah timur Borneo (Laut Sulawesi) tidak jelas atau belum disepakati.
Dalam artikelnya di Kompas (11 april 2005) Prof. Jacub Rais dan J.P. Tomtomo menegaskan bahwa “Proklamasi kemerdekaan kita atas semua tanah jajahan Belanda karena kita semua mempunyai nasib yang sama sebagai anak jajahan yang ingin melepaskan diri dari cengkraman penjajah Belanda.” , dengan analogi “kita juga tidak mungkin mengklaim daerah bekas kejayaan Kerajaan Sriwijaya yang konon sampai ke Malaysia dan Thailand menjadi milik negara Indonesia.
Ketika Indonesia dan Malaysia sudah merdeka, negosiasi perihal kedua pulau dihentikan pada tahun 1969, dan pada akhir tahun 90-an, negosiasi kembali dilakukan. Data dan fakta menunjukkan bahwa Inggris telah membangun mercusuar, memberlakukan aturan hukum tertentu dan mengaur pengelolaan telur penyu di kedua pulau tersebut. Sementara di sisi lain, Belanda tidak melakukan hal yang serupa dan Indonesiapun tidak terbukti melakukan tindakan kepedulian terhadap kedua pulau itu secara hukum. Hal ini yang menyebabkan kekalahan Indonesia.
Semoga dari kasus kalim Sipadan dan Ligitan menjadikan pembelajaran untuk kita semua, untuk
“menumbuhkan rasa memiliki yang kuat, mempelajari, menjaga, melindungi, merawat dan memperhatikan semua warisan banga baik wilayah teritorial, budaya, maupun semua simbol kepribadaian bangsa Indonesia” sehingga kita berhak mengklaim atas kepemilikannya
Malaysia dan Indonesia adalah negara yang serumpun, dalam persaudaraan yang telah diajarkan oleh nenek moyang kita sejak jaman kejayaan Kerajaan Sriwijaya. Oleh karena itu, hubungan Bilateral harus terjaga dengan menghormati dan bekerjasama untuk perbaikan dan menjaga kelestarian peradaban dan budaya.
Sesuai pembukaan UUD 1945 sebagai negara yang berbudi pekerti luhur dan berdasar Pancasila harus mampu menjadikan kita sebagai negara yang beradab dengan menjaga perdamaian di atas dunia dan menggunakan etika hukum yang sesuai dalam menyelesaikan konflik. Semoga Tuhan memberikan kekuatan kepada Bangsa Indonesia untuk menunjukan pada dunia bahwa bangsa Indonesia adalah Bangsa yang berakhlak tinggi dan memiliki Intelektual sebagai negara yang religius dan demokratis. Amin.
Salam,
http://fusypujiastuti.blogspot.com/2013/03/pulau-sipadan-dan-ligitan-bukan-pulau.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar